100 Juta Suara Dukung "REFERENDUM" West Papua

Opini

REFORMASI MILITER DI INDONESIA PERLU DIPERTANYAKAN?

OPINI,


Bergulirnya reformasi bangsa dan tuntutan  reformasi militer

Militer Indonesia pasca-Orde Baru (di massa Pemerintah Soeharto)  dianggap sebagai salah satu kekuatan besar di Wilayah Asia Tenggara,  namun dinamika politik  seiring dengan bergulirnya reformasi bangsa Indonesia di  tahun 1998 dituntut untuk mereformasi total di tubuh internal militer, jika tidak konsekuensinya adalah degradasi bangsa sehingga Intitusi militer angkat tangan dan tunduk pada tekanan pililik saat itu.
 Meskipun memiliki tujuan yang baik dan didasarkan pada prinsip normative yang mulia, namun konsep reformasi sector keamanan secara eksklusif bersifar ada keraguan, bukan sincere (kesungguhan hati), Seperti Pengamat politik Sukardi Rinakit  mengatakan profesionalisme TNI tidak semata-mata mengenai kemampuan tembak menembak dan pertahanan. "TNI masih setengah hati mereformasi dirinya karena pendidikan politik Negara berkembang, seperti indonesia amat sulit.

Hakekatnya bahwa  TNI harus dapat melepas sepenuhnya karakter tentara politik dan tentara niaga
dilihat dari Reformasi militer sendiri hanyalah  Reformasi Sektor Keamanan belaka yakni untuk membangun hubungan sipil militer yang baik, idealnya diibaratkan seperti satu keping uang logam dengan kedua sisinya “ Sipil yang memahami militer dan militer yang mengerti sipil” Artinya : sipil dan militer bisa dipandang sebagai makhluk yang otonom dan pada saat yang bersamaan juga dipandang sebagai saling lekat.

Jaminan reformasi militer sebagaimana dimaksud UU No 34/2004 Tentang TNI, sebagai, “tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi”

 Hukum dan Undang-Undang Peradilan Militer  Masih Tersedat

Tersedatnya pembahasan UU Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2011 di DPR RI dinilai sebagai bentuk tidak pahamnya DPR dan Pemerintah terhadap agenda reformasi TNI dan reformasi peradilan.

Berlarutnya pembahasan UU itu dinilai akan terus menguntungkan militer,  sistem peradilan militer saat ini tidak independen sehingga mempersulit korban untuk mendapat keadilan atas kasus pelanggaran HAM yang melibatkan unsur TNI. Praktik peradilan militer, dan kerap menimbulkan kontroversi keadilan seperti dalam kasus Alas Tlogo, penagkapan aktivis Ham semena-mena dan  kekerasan oleh anggota TNI di Papua yang masih berlanjut.
Ironisnya lagi  UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, UU Kejaksaan, dan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembahasan UU Pengadilan HAM dapat memecahkan kebuntutan penanganan pelanggaran HAM berat. Namun Selama ini terus terjadi lempar tanggung jawab antara Komnas HAM, Jaksa Agung, DPR, dan Presiden
keterlibatan TNI dalam ranah sipil, seperti ketertiban masyarakat, demonstrasi, dll masih terlihat dan Penggelaran operasional TNI pada operasi militer selain perang, selaras dengan norma universal hanya dimungkinkan pada empat kategori, yaitu untuk bantuan kemanusiaan (humanitarian help); keadaan bencana (dengan catatan TNI memiliki idle capacity); bantuan kepada Polri (dengan catatan Polri menyatakan sudah tidak sanggup atau tidak mampu lagi menangani suatu masalah keamanan yang dimaksud); untuk perbantuan perdamaian dunia. Aktivasi dan deaktivasi empat kategori hal ini harus dengan keputusan otoritas politik (bukan oleh TNI).
ketertiban masyarakat dan teroris sekalipun harus di ranah penegak hukum kita (Crime Justice System) untuk menanganinya,
Tugas-tugas TNI selain perang inipun telah ditegaskan dalam UU TNI yaitu hanya bisa dilakukan atas dasar kebijakan dan keputusan politik negara (Pasal 7 ayat (3)). Jadi tidak serta merta para petinggi militer dapat melakukan operasi di suatu wilayah dalam negeri tanpa persetujuan pimpinan sipil.. 
“Jadi lebih tepatnya bahwa Reformasi militer sepenuhnya tidak sentuh subtansialnya hanya retorika belaka”

Kekerasan  militer masih Dominan
 Tindakan kekerasan militer terhadap warga sipil masil terlihat dan terasa walapun tuntutan reformasi militer sudah bergulir sejak tahun 1998, tindakan refresif dan semena-mena masih kental, ini dibuktikan tercorengnya nama intitusi TNI, dengan Sebuah video beredar di Youtube tentang aksi penyiksaan yang diduga dilakukan oleh sejumlah  oknum TNI terhadap sejumlah warga Papua dalam interogasi militer. Ironisnya para anggota TNI membakar alat kelamin para warga sipil, sehingga berita kekerasan ini menjadi tontonan dan konsumsi media nasional bahkan internasioanl, karena kasus ini sangat bertentangan dengan reformasi di tubuh TNI di Indonesia, saat ini menjadi tekanan internasional, bahkan Presiden Indonesia (SBY)pun, mengatakan bahwa ulahnya prajurit TNI membuat Indonesia harus menjelaskan kesus ini kepada PBB, Dunia, Uni eropa dan Amerika
 Bukan itu saja seperti pembunuhan Opinus tabuni pada 9 Agustus 2008 di Lapangan Sinapuk Wamena, Justinus morib, Kelly kualyk, terianus hesegem, Yawen weyani diserui, dan beberapa warga sipil di puncak jaya dan banyak lainya yang menjadi dokumen bagi pekerja Ham di Indonesia, dan Komnas Ham perwakilan papua melaporkan bahwa kasus ini, hanya salah satu dari banyak kasus penyiksaan yang di lakukan oleh militer bahkan di media kompas melaporkan bahkwa 290 Kekerasan Aparat di Papua dibiarkan,
Dari bukti dan dominasi militer dalam kesus kekerasan menjadi pundar atas kepercayaan public terhadap reformasi militer, ini juga dilihat dari sangsi yang di jatuhkan para pelaku tidak sebanding dengan perbuatan seperti kasus kekerasan terhadapa warga sipil di papua yang beberapa bulan terakhir ini di vonis hukuman hanya 8,9 dan 10 bulan penjara.

Padahal Konsepsi universal, supremasi sipil mengharuskan setiap negara demokrasi untuk menciptakan suatu sistem ketatanegaraan yang tidak memungkinkan aktor militer untuk mengambil suatu inisiatif tindakan represif tanpa persetujuan institusi sipi, jadi artinya operasi militer baik institusi TNI maupun Polri di daerah tertentu harus persetujuan dari institusi sipil seperti Gubernur, bupati dll.

 Indonesia sediri merusak nama baiknya sendiri
 Lemahnya pemberian sangsi para pelaku kejahatan membuat citra TNI tercoreng dan reformasi militer dipertanyakan keberadaannya, ini juga diberenggi dengan Tersedatnya pembahasan UU Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2011 tetang reformasi TNI dan reformasi peradilan.
Hal ini menimbulkan banyak kontroversi dan menimbulkan  tekanan internasional kepada pemerintah RI seperti Tiga organisasi pemantau HAM internasional mendesak pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk menghentikan program bantuan militer ke Indonesia terkait dengan kegagalan mempertanggunjawabkan penyiksaan terhadap warga sipil Papua. Tiga organisasi itu adalah The West Papua Advocay Team (WPAT) dan Tapol  yang berbasis di Inggris, serta  East and Indonesia Action Network (Etan) di AS.. dikutip media bisnis.com
Kelompok HAM Internasional Human Rights Watch (HRW) juga menganggap reformasi di tubuh militer Indonesia tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kelompok yang berbasis di Amerika Serikat (AS) tersebut, juga menilai jika TNI dianggap gagal melucuti bisnis yang dibangun sejak Era Soeharto.
laporan 20 halaman yang berjudul "Unkept Promise: Failure to End Military Business Activity in Indonesia," memaparkan kritikan atas Dekrit Presiden dan Peraturan Mentri Pertahanan yang mengatur keterlibatan militer dalam kegiatan bisnis.
Human Rights Watch juga menyoroti Undang-undang No 34 tahun 2004 tentang TNI yang mewajibkan angotanya melepas sepenuhnya dari kepenting-kepentingan bisnis, sebagai upaya untuk meningkatkan profesionalisme militer serta pengendalian masyarakat sipil
Bukan itu yang lebih ironis lagi pemerintah AS melalui Jubir Kemlu AS Philip Crowley menegaskan pentingnya reformasi aparat keamanan Indonesia dan  mempertahankan standar tinggi.. Terutama dalam hubungan individual dan hak asasi manusia. Dengan tanda kutip  menegaskan “Kami akan terus memantau kasus ini (kasus Papua),” kata Crowley, sebagaimana dilansir Straits Times. Media ini, yang mengutip dari AFP,
Bergulirnya reformasi bangsa penuh dengan pengorbanan dan susah payah sehingga para pemimpin negeri ini harus menerapkan cita-cita bangsa ini sesuai dengan semangat reformasi pula jika sistem kuno (otoriter) masih di terapkan maka konsekuensinya akan berhadapan dengan rakyatnya sendiri.”

Penulis, Turius wenda
Ketua Forum Gerakan Pemuda Baptis Papua (FGPBP)  dan juga
Staf Penelitian dan pengembangan di  Sinode Gereja Baptis Papua