TEMPO Interaktif, Jakarta - Lembaga advokasi HAM Imparsial mengecam sikap Panglima TNI dalam menangani kasus kekerasan prajurit TNI di Papua. Imparsial menilai sikap Panglima TNI adalah melindungi kesalahan anggotanya dengan hanya mengadilinya di tingkat pengadilan militer.
"Kami kecam sikap yang menyatakan bahwa pengadilan militer lebih berat hukumannya dari hukuman sipil," ujar Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti dalam keterangan persnya di kantor Imparsial, di Jakarta (7/1/2011).
Menurut Poengky, penting untuk dicermati perbedaan antara hukuman bagi pelaku penganiayaan dalam pengadilan sipil dengan KUHP dan pengadilan militer. "Dalam KUHP hukuman dari 5 hingga 7 tahun, sedangkan dalam kasus kekerasan aparat militer di Papua dalam peradilan militer hanya divonis 5-7 bulan penjara," kata Poengky.
JAKARTA: Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai rekomendasi Komnas HAM tentang kekerasan di Papua harus ditindaklanjuti dengan tindakan pro justisia dan bukan dibiarkan tanpa proses hukum yang layak bagi pelakunya.





JAYAPURA—-Hearing atau dengar pendapat yang melibatkan tokoh- tokoh Papua, baik yang Pro Merdeka maupun Pro NKRI di Kongres Amerika Serikat di Washington DC, 22 September 2010 lalu adalah suatu peristiwa yang melibatkan perlemen negara lain dan di luar rel hukum Indonesia.
JAYAPURA- Tahun 2011 ini pelanggaran pelanggaran hak sipil dan politik masih terus terjadi di Papua melalui aksi unjukrasa, insiden penembakan, penyiksaan, penyanderaan, pembunuhan dan lain lain yang memunculkan konflik antara aparat penegak hukum dan rakyat sipil.Demikian diungkapkan Pengamat Hukum dan HAM, Yusack Reba SH MH ketika dikonfirmasi di ruang kerjanya, Selasa (4/1) kemarin terkait penegakan supremasi hukum dan HAM khususnya di Papua pada tahun 2011 ini. Dikatakan, ekspresi atau kebebasan berpendapat yang kemudian kebebasan berpendapat itu ditafsir oleh institusi penegak hukum sebagai perbuatan makar atau separatis. Walaupun itu sebenarnya bagian dari ungkapan pendapat. 




