JAKARTA: Amnesty International (AI) mengingatkan kemungkinan terjadinya kembali penyiksaan terhadap tahanan politik Papua Buchtar Tabuni terkait dengan pemindahan aktivis itu ke sel isolasi pada 7 Januari 2011 tanpa alasan yang jelas.
Josef Roy Benedict, pengkampanye Indonesia & Timor-Leste AI, mengatakan Buchtar sendiri tak diberikan alasan oleh Polda Papua tentang pemindahan tersebut.
Padahal, sambung Benedict, Buchtar sangat mengkhawatirkan keselamatannya dan kemungkinan paksaan untuk memberikan pengakuan.
"Dia punya ketakutan tentang keselamatan dan kemungkinan dipaksa untuk pengakuan," ujar Benedict dalam siaran pers. "Dia juga punya masalah dengan lambung."
AI sebelumnya mencatat sejumlah penyiksaan terhadap beberapa aktivis politik di Indonesia oleh polisi saat melakukan penangkapan, penahanan dan interogasi. Padahal, organisasi itu menyatakan Indonesia adalah pihak yang masuk dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Dalam perjanjian itu, pemerintah Indonesia berkewajiban untuk mengemukakan alasan penangkapan beserta sangkaan, diperlakukan secara baik sebelum ke pengadilan dan memiliki kesempatan untuk membela diri.
Buchtar ditahan pada Oktober 2008 karena ikut mengatur demonstrasi mendukung International Parliamentarians for West Papua (IPWP), sebuah koalisi anggota parlemen yang menyokong hak determinasi sendiri bagi Papua. Akhirnya dia divonis 3 tahun untuk tuduhan penghasutan rasa benci terhadap pemerintah Indonesia. Pada 3 Desember 2010, Buchtar dipindahkan dari penjara Abepura ke Polda Papua karena diduga terlibat dalam kerusuhan tahanan di penjara Abepura.
AI meminta agar warga sipil menuliskan surat ke Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar dan Kapolda Papua Irjen Bekto Suprapto sebelum 23 Februari 2010 agar Buchtar segera dipindahkan dari kurungan isolasi itu. Selain itu, mendesak agar adanya jaminan bahwa dia tidak akan disiksa atau disakiti selama dalam tahanan.
"Kami juga meminta agar pemerintah memastikan semua penahanan dan prosedur judisial patuh dengan kewajiban Indonesia sesuai dengan ICCPR," ujar Benedict. (msw)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar