JUBI --- Mengawali tahun 2011, jaringan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Papua menyampaikan rasa keprihatinan yang dalam atas situasi hak asasi manusia di Papua kepada Presiden RI, melalui sebuah Surat Terbuka. Penyampaian rasa keprihatinan ini didorong oleh fakta bahwa setiap waktu masih saja terjadi peristiwa kekerasan yang melahirkan korban karena minimnya perlindungan keamanan bagi rakyat Papua, sebagaimana dijamin oleh konstitusi RI.
Dalam Surat Terbuka yang diterima redaksi tabloidjubi.com, disebutkan bahwa
beberapa kasus besar yang menjadi perhatian banyak pihak, terkait ketiadaan jaminan pemenuhan hak sipil politik diakibatkan oleh beberapa hal, yakni : 1) Pemberlakuan paradigma separatis sebagai upaya pembungkaman kebebasan hak berekspresi; 2) Masih kuatnya peranan Jakarta sebagai titik sentral dalam implementasi kebijakan di tanah Papua; 3) Cara pandang melihat Papua sebagai wilayah konflik dengan melakukan pendekatan keamanan sebagai jalan keluarnya merupakan suatu sikap Paranoid (ketakutan akan masa lalu); 4) Di sisi lain, deployment aparat keamanan ke Papua ternyata dimanfaatkan untuk menjaga aset-aset investasi dan menjadi backing pengusaha; 5) Masih kuatnya pandangan bahwa persoalan Papua hanyalah persoalan ekonomi sehingga mengupayakan pemberian dana besar sebagai jalan keluarnya; 6) Implementasi kebijakan terhadap Papua hanyalah mengatasi dampak yang di timbulkan tanpa menyelesaikan persoalan mendasar yang terjadi selama ini.Jaringan OMS yang terdiri dari Foker LSM Papua, ALDP, Elsham Papua, SKP-KPC, KPKC Sinode GKI Papua, LBH Jayapura, JAPH-HAM Wamena, Imparsial, Kontras Jakarta, HRWG dan PRAXIS juga mendorong Presiden untuk mengambil kebijakan politik dengan memerintahkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar mengambil beberapa langkah penting demi menjamin pemenuhan hak sipil politik warga negaranya sendiri. Beberapa langkah penting yang didorong oleh jaringan OMS ini adalah mendorong upaya-upaya dialogis secara damai bagi `penyelesaian persoalan Papua yang komprehensif dam bermartabat. Salah satu caranya adalah dengan mendukung proses –proses dialog Jakarta-Papua yang selama ini telah di jalankan oleh Tim Jaringan Damai Papua dengan segera mengeluarkan Surat keputusan dari Presiden untuk membentuk tim inti yang terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat adat, Agama, akademisi dan kelompok masyarakat sipil.
Semua pihak juga diminta untuk menghentikan upaya stigmatisasi bagi orang Papua dan mendudukannya sebagai warga Negara yang harus mendapatkan perlindungan HAM. Perlu ditinjau ulang penerapan pasal-pasal makar dalam KUHP atau PP No. 7 tahun 1977. Pemerintah pusat juga diminta untuk merevisi atau mendesign ulang suatu sistem keamanan yang berbasis HAM dengan pendekatan keamanan bagi rakyat. Pengiriman pasukan harus disesuaikan dengan tingkat kebutuhan lokal dan ancaman riil yang akan berdampak positif bagi penghematan anggaran pertahanan sesuai peruntukkannya. Jaringan OMS ini juga meminta aparat Kepolisian untuk bertindak profesional dengan berbasis nilai hak asasi manusia dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.
Selain itu, upaya-upaya mendorong kebijakan-kebijakan HAM yang berpihak terhadap korban pelanggaran HAM di tanah Papua sebagai bagian dari upaya pemenuhan terhadap hak korban pelanggaran HAM, khususnya di masa lalu perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah pusat maupun daerah. Pemerintah pusat juga diminta segera merevisi setiap kebijakan yang terkait dengan pelayanan publik karena selama ini hampir tidak menyentuh kebutuhan mendasar orang Papua. Pelayanan publik yang di maksudkan di sini yakni pendidikan, kesehatan dan ekonomi di mana ketiga pilar tersebut selalu menjadi titik fokusnya yakni pemberdayaan, pemihakan dan perlindungan bagi orang asli Papua.
Hal lainnya yang dianggap penting adalah agar pemerintah pusat maupun daerah tidak melupakan atau mengabaikan agenda HAM dalam perumusan dan pembuatan kebijkakan di Tanah Papua. Karena agenda yang selama ini di jalankan yakni lebih menitik beratkan agenda persoalan ekonomi dan kesejahteraan. Dalam arti perlu ada perimbangan yang memadai dalam memadukan ke dua agenda tersebut.
Jaringan OMS ini juga berharap agar Gubernur, DPRP dan MRP perlu berkoordinasi dan segera merespon cepat dalam menyikapi situasi atau kasus-kasus kekerasan pelanggaran HAM di Tanah Papua. Ketiadaan akan sikap ini membuktikan ketiga lembaga tersebut tidak punya komitmen terhadap penegakan HAM di Tanah Papua. Dan akan menyuburkan intrust bagi ketiga institiusi tersebut di mata orang Papua. (Jubi/Timo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar